Di timur matahari perlahan merangsek naik. Semburat cahayanya kuning keemasan, menelusup awan putih yang bergumul di atas langit Lindu. Kabut tipis di permukaan danau pun perlahan menyebar, memperjelas arah pandang ke tepian. Ada beberapa perahu nelayan nampak melintas di tengah danau. Seolah berkejaran dengan waktu, mereka melaju menuju tempat pemasangan jala. Sementara di jalan-jalan desa, para warga terlihat lalu lalang.
Festival Danau Lindu, adalah moment yang dituggu-tunggu para warga Kecamatan Lindu sejak lama. Bukan hanya mereka, rasa penasaran juga singgah dan menggerayangi benak warga lain di Kabupaten Sigi, yang sudah berada di Desa Tomado dan sekitarnya sejak sehari sebelumnya.
Ada beberapa tetua adat meski usianya sudah beranjak senja, dengan Siga (ikat kepala) merah dan Guma (senjata pusaka) terikat kuat di pinggangnya, para Hondo Ada (pemangku adat) tersebut nampak gagah dengan pakaian adat lengkap.
Beberapa di antara mereka sedang menyetem gimba (gendang) yang akan dimainkan saat acara penyambutan tamu nantinya. Matahari semakin meninggi, rasa penasaran hadir detik demi detik menyambangi panitia dan para pengunjung. Tak lama kemudian, sirene pun memecah hingar-bingar Desa Tomado. Itu tandanya, tamu kehormatan yang ditunggu-tunggu telah tiba. Dari sepeda motor yang di tumpanginya, Gubernur Sulteng, HB Paliudju turun dan langsung disambut dengan penuh suka cita oleh sejumlah pemangku adat Lindu, pejabat Kabupaten Sigi dan ratusan warga lainnya.
Secara adat, Paliudju kemudian disambut, dikalungi bunga dan dipasangkan siga oleh seorang gadis lindu yang jelita. ”Sudah bulat telur, tapi lebih bulat hati kami menyambut anda. Sudah berharga emas, tapi lebih berharga perasaan kami menyambut anda,” kata seorang pemangku adat Lindu dalam bahasa Tado.
Paliudju kemudian berjalan dan diikuti seratusan orang. Sebelum menuju lokasi, ia mengenakan pakaian adat Lindu dan siga merah. Menurut Samuel Toley (55), salah satu pemangku adat Desa Langko, sebagai penghargaan terhadap adat, tamu kehormatan harus mengenakan pakaian adat. Jika tidak, bisa saja diganjar givu (denda).
Beberapa saat kemudian, Paliudju langsung menuju lokasi FDL. Ada kelompok musik bambu yang menyambutnya di sana. Kali ini, Paliudju sudah mengenakan pakaian adat warna hitam. Ia nampak gagah dengan siga merah. Untuk menunjukkan simbol pajama (celana pendek, dalam pakaian adat Lindu), ia pun menggunlung celananya selutut. Setibanya di panggung, ia langsung menggunting pita, sebagai simbol digunakannya panggung utama.
Tetabuhan gimba terus beradu seperti derap kaki kuda yang berpacu. Suasana terasa semakin sakral, saat paliudju diarahkan untuk menyebelih seekor kerbau. Ini adalah bagian dari rangkaian acara penyabutan. Pantimbeka namanya. ”Ralalu mpue, manggasuwia, Kubawa dako ri sanggoto dala, Ratoi tora ne memalipo irara,”. Lantunan syair rego (tari penyambutyan tamu, khas warga Lindu) itu membuat hening suasana, menciptakan harmony sunyi yang membawa susana damai, merasuki relung hati.
”Sudah lama saya tidak mendengar syair lagi itu,” kata Niniek Toley. Dari ribuan orang yang berkerumun di depan panggung, Niniek yang juga warga lindu ini, nampak tersentak mendengar irama rego yang mendayu-dayu. Sudah cukup lama katanya ia meninggalkan kampungnya. Sejak menikah dengan seorang pria berkebangsaan Australia puluhan tahun lalu, pada tahun 2009, ini adalah kali kedua ia pulang kampung.
Kerinduan menghampirinya, rindu akan tarian rego, tetabuhan gimba, makan adat dan menyaksikan para tetua adat mengenakan pakaian adat lengkap. Ia pun nampak seperti kaum ibu lainnya, yang menggunakan pakaian adat lengkap. Memang, Niniek sudah melalang buana sejak puluhan tahun ke negeri Kanguru. Tapi hari itu, ia nampak anggun dengan rok susun yang dipenuhi manik-manik dan blus merah. ”Saya mau tunjukkan bahwa seperti ini pakaian adat kami. Saya bukan bagian dari panitia, tapi saya merasa terpanggil untuk menujukkan idantitas orang Lindu,” katanya kepada Media Alkhairaat di sela-sela acara.
Di atas panggung, Gubernur, Bupati Sigi, Hidayat dan tamu lainnya mengikuti ritual makan adat bersama pemangku adat lainnya. Kata salah satu pemangku adat Desa Tomado, Nudin Tendesabu (70), hal itu juga merupakan simbol penyambutan bagi tamu kehormatan. Dalam upacara tersebut kata dia, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, seperti saat makan, tidak bisa ada yang mendahuli tamu kehormatan, semua makanan harus dihabiskan, tak bisa ada yang tersisah.
Haking, Camping dan Fishing,
Ada berbagai alasan orang untuk datang ke Lindu. Selain event FDL, para pengunjung akan disuguhkan suasana desa yang kental dengan adat istiadatnya, serta pemandangan alam yang menakjubkan. Jika berangkat dari Palu, anda akan menempuh perjalanan melalui jalan trans Palu-Kulawi dengan menggunakan kederaan roda dua dan roda empat selama kurang lebih satu hingga dua jam. Untuk masuk ke Lindu, hanya satu jalur yang bisa ditempuh, yakni melalaui Desa Sadaunta. Dari sini, anda bisa menempuhnya dengan jalan kaki (haking), atau menggunakan jasa ojek.
Untuk mencapai ibukota kecamatan, jaraknya kurang lebih 17 kilo meter dari Sadaunta. Untuk satu kali jalan, biasanya tukang ojek memasang tarif Rp50 ribu. Sementara untuk muatan barang, diberi tarif seribu per kilo gramnya. Kondisi jalan yang berbatu dan sedikit menanjak, cukup untuk memacu adrenalin anda saat dalam perjalanan.
Dulu, sebelum adanya ojek, masyarakat masih menggunakan tenaga kuda untuk dijadikan jasa transportasi dan angkutan barang. Bagi masyarakat setempat, itu disebut Pateke.
Kondisi alam yang masih asri, membuat suhu udara di dataran Lindu masih sangat sejuk. Di beberapa desa, terhampar persawahan luas yang membentang hingga ke pinggir danau. Terkadang kita bisa melihat beberapa kerbau yang sedang asyik di kubangan di pinggiran sawah. Biasanya, banyak muda-mudi yang datang hanya untuk menikmati keindahan alam, dengan mendirikan tenda di tepi danau selama beberapa hari. Namun kebanyakan dari mereka, sudah mempersiapkan alat mancing. Jika jadwalnya tepat, kita bisa menikmati indahnya bulan purnama di tepi danau, ditemani segelas kopi atau teh hangat sambil ngobrol sesuatu yang indah-indah. Waw, begitu indah bukan.
Rencananya, FDL bagi pemerintah Kabupaten Sigi, akan dijadikan agenda tahunan sebagai event kebudayaan, yang melibatkan semua kecamatan. Banyak harapan dari masyarakat terhadap hajatan budaya tersebut. Bagi masyarakat Lindu, itu bisa menambah income cukup besar, meski hanya setahun sekali. Namun bagi mereka, publikasi dan hadirnya kembali khasanah budaya yang hampir punah bisa kembali dinikmati khalayak ramai. ”Saya berharap kegiatan ini bisa dikelolah lebih baik lagi kedepan. Soalnya kalau dilihat dua hari terakhir, masyarakat juga merasakan dampak ekonomi yang cukup tinggi,” kata Nudin, ketua adat Tomado.
Sementara Niniek, sebagai warga asli Lindu, ia berharap pemerintah bisa lebih bekerjasama dengan masyarakat dalam penyelenggaraan FDL nantinya. ”Sejak jauh-jauh hari, pemerintah sudah harus memahami apa keinginan masyarakat. Jadi jelas bahwa event ini adalah keinginan masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaanya, masyarakat benar-benar ikhlas untuk mendukung pelaksanaan kegiatan ini. Kalau itu dilaksanakan, saya yakin semua bisa berjalan baik, sesuai keinginan semua pihak,” harap Niniek. (Sumber dan Tulisan: Sahril)