RSS

Top Artikel Seliante's:

Cari Blog Ini

Wisata Kota Tua Cologne

Registrasi konferensi International Human Dimension Program (IHDP) yang diselenggarakan United Nation of University (UNU) di Bonn, Jerman, pada akhir April 2009 lalu baru dibuka jam 17.00 waktu setempat. Masih ada beberapa jam lagi dan sembari menunggu, penulis memutuskan pergi ke kota Cologne (baca: Koln) yang letaknya berdekatan dengan Bonn. Dari Hauptbahnhof (Hbf atau Stasiun Besar) Bonn, penulis naik kereta antarkota ke Hbf Cologne yang hanya ditempuh sekitar 20 menit.

Keluar dari stasiun Cologne, city tour pun dimulai dari Dome Katedral Cologne yang sudah berumur ratusan tahun, mengelilingi downtown kota tua, hingga menelusuri sungai Rhine dan berakhir di Museum Cokelat Cologne. Wow, sungguh eksotis matahari di awal musim semi yang cukup hangatitu. Tapi jangan lupa, kita harus tetap memakai jaket karena angin musim semi yang masih cukup dingin.

Kota Cologne terletak di tepi Sungai Rhine yang mengalir dari Swiss hingga Belanda. Sungainya bersih dan cukup lebar untuk keperluan wisata dan transportasi air. Banyak cerita novel dan kisah cinta yang terilhami sungai tersebut. Bila naik kereta dari arah Bonn ke Dusseldorf atau Munchen Gladbach, kita akan menikmati pemandangan kota Cologne bak lukisan alam di tepi sungai Rhine dengan semburat Dome Katedral kuno yang mirip mahkota raja.

Penulis penasaran pada nama ”Cologne” yang mirip nama parfum populer di Indonesia tahun 1970-an. Agak susah juga mencari informasi mengenai hal itu karena orang Jerman enggan (atau tidak banyak tahu) berbahasa Inggris seperti orang Perancis. Kenyataannya memang benar, kota inilah tempat parfum Deo Cologne 4711 berasal.

Banyak gerai parfum ditemukan di Cologne dan penulis menemukan toko pamer (etalase) minyak wangi 4711 yang asli di tengah kota. Hmm, menakjubkan. Harganya bervariasi mulai dari 1 hingga 100 euro. Bila dihitung-hitung maka tidak jauh berbeda dengan harga di Indonesia. Tapi penulis tidak beli banyak untuk oleh-oleh karena barang yang sama banyak dijual di Indonesia (nanti dikira dibeli di Semarang saja).

Perlu diketahui bahwa selain kota Cologne, ada satu lagi kota di Jerman yang bernuansa nama parfum, namanya kota Essen. Jaraknya sekitar 1,5 jam naik kereta dari Bonn Hbf. Sekilas pandang, penulis melihat kota itu juga merupakan kota tua yang eksotis yang menarik.

Di Cologne, penulis memutuskan ber-city tour dengan berjalan kaki menelusuri rute wisata kota. Capai juga. Karena itu, penulis segera naik kereta wisata yang lagi mangkal menunggu penumpang dan sudah banyak turis yang duduk di dalamnya. Tak lama kemudian datanglah nonik Jerman minta bayaran tiket 7 euro (1 euro sekitar Rp14.000 pada saat itu). Sebenarnya ada bus yang tanpa atap untuk rute yang sama dengan tarif 10 euro. Pemilihan kereta wisata, selain lebih murah, penumpang juga bisa terhindar dari sengatan matahari.

Prototipe kota lama Cologne sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kota lama Semarang. Desain bangunan, gangnya yang kecil serta tata letak fasilitas umum (sungai, jembatan, taman, gereja, dan lain-lain) sungguh mirip. Bedanya, yang di sana memang benar-benar terawat sangat baik, sementara kondisi yang di Semarang sebaliknya. Dari tata kota lama Cologne itu, penulis jadi tahu bahwa Sungai Semarang dengan Jembatan Mberoknya itulah yang memberikan ciri khas desain kota lama ala Eropa.

Kota Cologne lahir pada masa kerajaan Franconian pada akhir abad ke-5 Masehi sebelum diambil alih oleh orang-orang Prussia. Sebagian besar wilayah kotanya rusak akibat Perang Dunia II dan yang tersisa adalah bangunan Katedral Cologne yang tegar bergaya gotik. Ini merupakan salah satu katedral yang terbesar di daratan Eropa.

Menurut catatan pada Color Guide Rhine, katedral tersebut dibangun mulai tahun 1248 dan selesai pada tahun 1880. Bangunan itu memiliki relief mahkota emas bernama Magi dengan altarnya yang menjulang tinggi. Selanjutnya bangunan itu dinamai dengan ”Rumah Raja” oleh Stephan Lochner. Menaranya setinggi 157 meter dengan anak tangga sebanyak 500. Dari atap menara itu akan terlihat panorama cantik Gunung Siebengebirge.

Panoramanya sungguh meriah. Orang berlalu lalang di lapangan dan altar katedral. Ada juga yang berjemur dan berpiknik bersama keluarganya. Ada yang sedang santai dengan pasangannya dan yang paling banyak adalah turis yang sengaja ingin mengagumi lokawisata di situ.

Yang menarik, tak hanya sebagai bangunan kuno yang berfungsi sebagai heritage, katedral tersebut masih fungsional. Ia masih secara aktif dipakai untuk melakukan ritual gerejani oleh para jemaahnya. Misa dilakukan sesuai jadual, bahkan sepanjang harinya tidak pernah kosong.

Hal itumalah menjadi suatu tontonan gratis yang menarik bagi pengunjung karena mereka diperbolehkan masuk ke dalam katedral dan dapat mengamati jalannya upacara gereja dari jauh tanpa mengganggu mereka yang sedang menjalankan ibadah. Dentang lonceng dan nyanyian pujian serta percakapan dalam bahasa Jerman menambah suasana tersendiri untuk dinikmati.

Di depan altar gereja, wisatawan dari berbagai bangsa dan ras yang berbeda berkerumun. Ada banyak pertunjukan yang digelar, mulai dari komedi, sulap hingga pameran lukisan serta foto bersama bidadari, badut, dan lain-lain dengan imbal jasa 1 euro setiap kali potret dengannya. Dan perlu dicatat pula bahwa di sana ternyata juga ada pengemis.

Pengamanan wisata terlihat cukup baik. Di altar bawah gereja, ada sekitar 12 mobil polisi wisata yang siaga untuk melayani wisatawan dengan ramah. Seperti biasanya, sangat mudah untuk menemukan dan mengidentifikasi wisatawan Indonesia di sana. Mereka biasanya berombongan dan paling heboh untuk foto-foto dan belanja.

Museum Cokelat di Tepi Sungai
Sungai Rhine sarat dengan riwayat kisah bersejarah dan romantisme. Airnya berasal dari Pegunungan Alpen di Swiss dan mengalir turun ke muaranya di tepi laut Belanda (North Sea) dekat Rotterdam. Itu setelah melewati perjalanan panjang di perbatasan negara Leichtenstein, Austria, kota-kota di Jerman (mulai dari Mainz, Bingen, Bonn, Cologne, Dusseldorf, Duisburg), Perancis, dan Belanda.

Karena sungai ini melewati banyak negara maka nama yang disandang pun berbeda-beda. Setidaknya ada 4 nama Rhein (Jerman), Rhine (Prancis), Rijn (Belanda), dan Rhenus (nama pemberian nenek moyang di Eropa). Namun sebutan yang paling populer adalah versi Prancisnya: Rhine. Namanya sendiri berasal dari kata ‘renos’ yang artinya kurang lebih ’mengalir jauh’ dan memang sungai itu mengalir sepanjang kira-kira 820 miles (1.320 km).

Menurut sejarah, penduduk asli yang tinggal di hilir atau di hului sungai Rhine merupakan suku bangsa Jerman. Wilayah di sepanjang sungai tersebut dikenal sebagai daerah yang sangat subur untuk lahan pertanian. Anggur banyak ditanam di sepanjang tepiannya sedari dulu, sehingga banyak penghasil minuman anggur di daerah itu.

Aliran sungainya yang berkelok-kelok dan bersih (meskipun telah digunakan oleh banyak orang di berbagai negara) dan dihiasi dengan bangunan kastil atau puri tua seperti gambar permainan ular tangga saja. Sangat unik, apalagi bila kita bisa mengikuti wisata kapal jelajah (cruise) di sepanjang Rhine.

Ada satu tempat menarik di tepian Sungai Rhine di Cologne. Yakni, Museum Cokelat. Bangunannya menyerupai kapal terapung di sungai. Museum yang dibuka oleh Hans Imhoff pada 31 Oktober 1993 itu terletak di Cologne Quarter Altstadt-Sud di semenanjung sungai Rheine. Museum itu milik konsorsium dari 10 museum besar di Jerman dengan rata-rata pengunjung sekitar 600 ribu orang per tahunnya.

Penasaran apa isi dari museum cokelat itu? Tentu saja semua hal yang berkaitan dengan cokelat dipamerkan di sana. Mulai dari mesin yang dipakai untuk membuat cokelat, teknik pembuatan hingga sejarahnya. Yang jelas, kita kita dapat menikmati cokelat dengan berbagai bentuk dan variasi rasa yang aduhai di sana. Tapi jangan tanya soal harganya (bila dikurs dengan rupiah). Sebut saja, suvenir berupa beberapa potong coklat dan kartu posnya harus dibeli dengan harga 10,70 euro (sekitar Rp150.000).

Di museum ini tersedia teras dengan panorama Sungai Rheine untuk minum kopi, teh, atau coklat. Untuk saat itu hampir tidak ada kursi lowong karena para pengunjung ingin menikmati matahari di awal musim panas. Tepi jalan menuju museum merupakan tempat perhentian bus wisata tanpa atap (hop-on-hop-off) dan kereta wisata yang diramaikan dengan penjual cokelat dan makanan ringan serta kafe. Museum itu buka setiap hari kecuali hari Senin dengan harga tiket masuk sekitar Rp 100 ribu (7 euro). sumber: SuaraMerdeka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...