Tembok identik dengan keterbatasan. Apa-apa yang ditembok memisahkan dalam dan luar. Dan keterpisahan ini kerap dilandasi keinginan mempertahankan diri, mempertahankan kemurnian, menjaga suatu keutuhan untuk melanggengkan diri. Begitulah ketika berada di atas tembok Intramuros di Manila. Tembok tebal membatasi bagian dalam kota tua yang intinya adalah budaya penjajah Spanyol. Di luar sana, orang kepulauan yang tidak beda dengan tetangganya di Indonesia. Tembok begitu kokoh hingga terasa kekuatannya dalam membatasi percampuran.
Dekat dengan tepi laut, benteng tua Spanyol berdiri kokoh. Tidak lagi dikelilingi kebun kelapa, tetapi sudah lapangan golf dan jalan raya dengan empat jalur. Kini pun ia tidak lagi membatasi antara penjajah Spanyol dan bangsa yang serumpun dengan orang Manado, Bugis, Jawa dan Batak.
Tembok tebal Intramuros ternyata gagal menghentikan sinkretis budaya. Pintu-pintu benteng telah terbuka. Menyusup masuk keluwesan Melayu dalam kakunya para Conquistador. Memang bukan hanya pintu gerbang saja yang pernah terbuka dan tidak terjaga. Ketika dunianya orang Barat berperang pada pertengahan abad ke-20, kawasan Intramuros luluh lantak.
Pengeboman Sekutu yang terlontar dari sumpah panglima balatentara bernama MacArthur. “I shall return,” memang digenapinya lengkap dengan ratanya Katedral Manila, dan rumah-rumah tua titisan kekuasan Spanyol sejak 1571 hingga 1898.
Tembok perkasa sepanjang 4,5 kilometer yang mengitari kawasan seluas 64 hektare dipenuhi istana, gereja, biara, sekolah dan rumah kaum berada rata dengan tanah. Hanya satu gereja berdiri, menegakkan surat Ilahi pada kesia-siaan manusia.
Sejengkal tanah itu kini bukan lagi milik Rajah Soliman, atau Delantado Miguel Lopez de Legazpi, dan juga bukan lagi milik para penguasa Metro Manila. Kawasan ini membuka diri menjadi daerah wisata yang bisa dikunjungi siapa pun.
Pada awalnya kawasan Intramuros adalah desa pemukiman pribumi. Nama kampung mereka Manylad. Dipimpin oleh Rajah Soliman, kampung di teluk ini menjadi pusat perdagangan berbagai komoditas yang datang dari Cina, Jepang, Vietnam, dan bahkan ada yang mengatakan seluruh Asia.
Nasib baik ini tidak berlangsung lama. Para penjelajah Spanyol datang. Pada 24 Juni 1571, kampung ini berhasil diduduki Adelanto Miguel Lopez de Lagazpi. Ia membangun kota Manila dari atas puing-puing kampung Manylad.
Apa pun yang didapat dengan kekerasan tampaknya tidak membuat tenang. Pembangunan Manila berjalan, namun ancaman dari Inggris, Jepang, Portugis dan para kolonial Asia lainnya menimbulkan semangat menembok diri. Muncullah tembok tebal dengan gerbang yang dihubungkan jembatan gantung yang setiap malam ditutup rapat. Muncul pula istilah di dalam tembok dalam bahasa Spanyol, intra muros.
Ternyata Spanyol tidak perlu takut dan mengurung diri. Intramuros dan seluruh Filipina berganti majikan, ketika Perjanjian Paris ditandatangani yang berakibat Spanyol menyerahkan kekuasaan kolonialnya pada Amerika Serikat.
Kawasan unik Asia ini, tempat satu-satunya kota benteng ala Eropa berdiri, hancur karena penguasa baru yang merebutnya dengan batang pena. Douglas MacArthur menjadikan Intramuros markasnya pada saat menjelang penyerbuan Jepang. Ia mengubah kota tua ini, dengan meruntuhkan bangunan tua dan melebarkan jalan.
Itu ternyata tidak cukup karena Jepang merebut Manila. Selama tiga tahun Intramuros menjadi jamban bagi ratusan jiwa pemberontak Filipina. Jepang menggunakan kawasan benteng Santiago ini untuk menggarap jajahannya.
Dan selama pertempuran merebut kembali Manila ribuan nyawa orang sipil jadi korban. Selama delapan hari Jepang membuat pertahanan mereka di Intramuros. Amerika mencongkel mereka keluar dengan kucuran bom. Tinggal gereja San Agustin dan sebagian tembok kota yang masih bertahan.
Tahun 1979 melalui dekrit presiden Filipina dibentuk Intramuros Administration. Tujuannya membangun kembali kota di dalam tembok ini. Tujuanya menjadikan sebagai kota wisata. Sekarang, berkat upaya ini, kesan Spanyol, Amerika dan hasilnya budaya Filipina modern, semua bisa dirasakan dalam tembok kota. Tidak ada lagi yang asli dalam dunia yang tertutup sekali pun. Pasti ada jalan baik kekerasan maupun yang lembut untuk menciptakan dunia baru. sumber: perempuan.com
Dekat dengan tepi laut, benteng tua Spanyol berdiri kokoh. Tidak lagi dikelilingi kebun kelapa, tetapi sudah lapangan golf dan jalan raya dengan empat jalur. Kini pun ia tidak lagi membatasi antara penjajah Spanyol dan bangsa yang serumpun dengan orang Manado, Bugis, Jawa dan Batak.
Tembok tebal Intramuros ternyata gagal menghentikan sinkretis budaya. Pintu-pintu benteng telah terbuka. Menyusup masuk keluwesan Melayu dalam kakunya para Conquistador. Memang bukan hanya pintu gerbang saja yang pernah terbuka dan tidak terjaga. Ketika dunianya orang Barat berperang pada pertengahan abad ke-20, kawasan Intramuros luluh lantak.
Pengeboman Sekutu yang terlontar dari sumpah panglima balatentara bernama MacArthur. “I shall return,” memang digenapinya lengkap dengan ratanya Katedral Manila, dan rumah-rumah tua titisan kekuasan Spanyol sejak 1571 hingga 1898.
Tembok perkasa sepanjang 4,5 kilometer yang mengitari kawasan seluas 64 hektare dipenuhi istana, gereja, biara, sekolah dan rumah kaum berada rata dengan tanah. Hanya satu gereja berdiri, menegakkan surat Ilahi pada kesia-siaan manusia.
Sejengkal tanah itu kini bukan lagi milik Rajah Soliman, atau Delantado Miguel Lopez de Legazpi, dan juga bukan lagi milik para penguasa Metro Manila. Kawasan ini membuka diri menjadi daerah wisata yang bisa dikunjungi siapa pun.
Pada awalnya kawasan Intramuros adalah desa pemukiman pribumi. Nama kampung mereka Manylad. Dipimpin oleh Rajah Soliman, kampung di teluk ini menjadi pusat perdagangan berbagai komoditas yang datang dari Cina, Jepang, Vietnam, dan bahkan ada yang mengatakan seluruh Asia.
Nasib baik ini tidak berlangsung lama. Para penjelajah Spanyol datang. Pada 24 Juni 1571, kampung ini berhasil diduduki Adelanto Miguel Lopez de Lagazpi. Ia membangun kota Manila dari atas puing-puing kampung Manylad.
Apa pun yang didapat dengan kekerasan tampaknya tidak membuat tenang. Pembangunan Manila berjalan, namun ancaman dari Inggris, Jepang, Portugis dan para kolonial Asia lainnya menimbulkan semangat menembok diri. Muncullah tembok tebal dengan gerbang yang dihubungkan jembatan gantung yang setiap malam ditutup rapat. Muncul pula istilah di dalam tembok dalam bahasa Spanyol, intra muros.
Ternyata Spanyol tidak perlu takut dan mengurung diri. Intramuros dan seluruh Filipina berganti majikan, ketika Perjanjian Paris ditandatangani yang berakibat Spanyol menyerahkan kekuasaan kolonialnya pada Amerika Serikat.
Kawasan unik Asia ini, tempat satu-satunya kota benteng ala Eropa berdiri, hancur karena penguasa baru yang merebutnya dengan batang pena. Douglas MacArthur menjadikan Intramuros markasnya pada saat menjelang penyerbuan Jepang. Ia mengubah kota tua ini, dengan meruntuhkan bangunan tua dan melebarkan jalan.
Itu ternyata tidak cukup karena Jepang merebut Manila. Selama tiga tahun Intramuros menjadi jamban bagi ratusan jiwa pemberontak Filipina. Jepang menggunakan kawasan benteng Santiago ini untuk menggarap jajahannya.
Dan selama pertempuran merebut kembali Manila ribuan nyawa orang sipil jadi korban. Selama delapan hari Jepang membuat pertahanan mereka di Intramuros. Amerika mencongkel mereka keluar dengan kucuran bom. Tinggal gereja San Agustin dan sebagian tembok kota yang masih bertahan.
Tahun 1979 melalui dekrit presiden Filipina dibentuk Intramuros Administration. Tujuannya membangun kembali kota di dalam tembok ini. Tujuanya menjadikan sebagai kota wisata. Sekarang, berkat upaya ini, kesan Spanyol, Amerika dan hasilnya budaya Filipina modern, semua bisa dirasakan dalam tembok kota. Tidak ada lagi yang asli dalam dunia yang tertutup sekali pun. Pasti ada jalan baik kekerasan maupun yang lembut untuk menciptakan dunia baru. sumber: perempuan.com
0 komentar:
Posting Komentar